Mengurai Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama
Agus Suprianto, SH., SHI., MSI., CM
Dosen Hukum STAI Yogyakarta, Mahasiswa S-3 Ilmu Syariah FSH UIN Sunan Kalijaga
Pemberitaan media sosial menunjukkan sejumlah kasus pelecehan seksual terhadap santri dilakukan oleh guru, pengasuh atau pemilik pondok pesantren terjadi di berbagai wilayah. Pesantren yang seharusnya menjadi tempat aman bagi para santri justru dimanfaatkan pengasuh melakukan kekerasan seksual. Sistem pesantren dan boarding, disinyalir terjadi pelanggaran kekerasan atau pelecehan seksual.
Kasus kekerasan atau pelecehan seksual terjadi diberbagai wilayah seperti : 1). Jombang, pimpinan pondok pesantren diduga mencabuli 15 santriwati; 2). Bandung, pimpinan salah satu yayasan pesantren melakukan perbuatan cabul tersebut terhadap 14 orang santri;
3). Cilacap, kasus dugaan perkosaan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan seorang guru pelajaran agama dengan total koraban 15 anak; 4). Ogan Ilir, Sumsel, kasus pelecehan seksual oleh dua pengasuh pondok dengan korban 26 santri; 5). Trenggalek, pelecehan seksual diduga dialami puluhan santriwati oleh guru;
6). Tasikmalaya, kasus pencabulan yang diduga melibatkan guru sekaligus pengasuh pondok pesantren; 7). Mojokerto, pengasuh pondok pesantren diduga mencabuli para santri. 8). Lhokseumawe, ketua yayasan pesantren melecehkan 15 santri; 9). Pinrang, Sulawesi Selatan, pimpinan pondok pesantren ditetapkan sebagai tersangka pencabulan terhadap santriwati, dengan korban 4 anak.
Kemudian data Komnas Perempuan, mencatat 51 kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan dalam rentang 2015 sampai Agustus 2020. Dari total kasus itu, urutan pertama adalah perguruan tinggi (27 %) dan urutan kedua adalah pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam (19 %).
Merespon fenomena berbagai kasus kekerasan atau pelecehan seksual di lembaga pendidikan agama, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada tanggal 5 Oktober 2022 mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.
Peraturan ini diterbitkan dengan 2 pertimbangan yaitu pertama, kekerasan seksual merupakan perbuatan yang bertentangan dan merendahkan harkat dan martabat manusia. Kedua, pelaksanaan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di satuan pendidikan pada kementerian agama harus dilakukan secara cepat, terpadu dan terintegrasi.
Dalam konsideran, peraturan ini lahir atas amanah perlunya menyusun turunan dari UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang diundangkan 9 Mei 2022 yang berlaku di lingkungan Kementerian Agama. Peraturan ini memuat 20 pasal dan 7 Bab, yaitu : 1). ketentuan umum, 2). bentuk kekerasan seksual, 3). pencegahan, 4). penanganan, 5). pelaporan, pemantauan, dan evaluasi, 6). sanksi, dan 7). ketentuan penutup.
Peraturan ini diterbitkan bersamaan dengan momen peringatan Hari Santri Nasional (HSN) yang jatuh pada bulan ini, tepatnya 22 Oktober 2022. Oleh karenanya Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama, bisa menjadi kado atau hadiah yang terindah dan sangat berharga untuk Santri, Pesantren dan Satuan Pendidikan Agama dari Pemerintah atau Menteri Agama RI.
Menurut pasal 1 ayat (1) PMA ini, yang dimaksud satuan pendidikan pada Kementerian Agama adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggrakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan di kementerian agama meliputi madrasah, pesantren, dan satuan pendidikan keagamaan.
Tujuan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, sebagaimana tertuang dalam pasal 2 yaitu : pertama, mencegah dan menangani segala bentuk kekerasan seksual; kedua, melaksanakan penegakan hukum dan rehabilitasi pelaku; ketiga, mewujudkan lingkungan di satuan pendidikan tanpa kekerasan seksual; dan keempat, menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.
Menurut pasal 5 ayat (1) peraturan ini, bentuk kekerasan seksual mencakup perbuatan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Adapun bentuk kekerasan seksual terdiri 16 jenis yaitu: 1). menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh dan/atau identitas gender korban; 2). menyampaikan ucapan yang membuat rayuan, lelucon, siulan yang bernuansa seksual pada korban;
3). membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, mengancam, atau memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual; 4). menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman; 5). mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
6). memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja; 7). menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban; 8). melakukan percobaan perkosaan; 9). melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin; 10). Mempraktikkan budaya yang bernuansa kekerasan seksual; 11). memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi;
12). membiarkan terjadinya kekerasan seksual; 13). memberikan hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual; 14). mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban; 15). mengambil, merekam, mengunggah, mengedarkan foto, rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual; dan 16). melakukan perbuatan kekerasan seksual lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tindakan pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama, setiap satuan pendidikan wajib melakukan kegiatan, yaitu sosialisasi, pembelajaran, penguatan tata kelola, penguatan budaya, kegiatan lainnya sesuai dengan kebutuhan. Untuk mendukung pencegahan, satuan pendidikan dapat berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah, perguruan tinggi, satuan pendidikan lain, masyarakat, dan orang tua peserta didik. Selanjutnya apabila terjadi kekerasan seksual, setiap satuan pendidikan wajib melakukan yaitu pelaporan, perlindungan, pendampingan, penindakan dan pemulihan korban.
Rekomendasi dengan terbitnya peraturan ini yaitu kesatu, pihak satuan pendidikan agama dapat menindaklanjuti dengan kegiatan pencegahan dan penanganan; Kedua, pihak satuan pendidikan agama perlu berkoordinasi atau berkolaborasi dengan kampus yang memiliki program studi / lembaga studi basis ilmu syariah atau hukum dan isu anti kekerasan seksual dalam program pencegahan kekerasan seksual;
Ketiga, tidak terjadi lagi kekerasan seksual di satuan pendidikan agama; Keempat, adanya penyelenggaraan pelayanan terpadu bagi satuan pendidikan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual; Kelima, jaminan keamanan dan kenyamanan orangtua / wali untuk menitipkan putra-putrinya mondok atau belajar di satuan pendidikan agama dari ‘trauma / ancaman’ perilaku kekerasan seksual;
keenam, menumbuhkan kembali kepercayaan publik kepada pesantren, madrasah dan satuan pendidikan agama lainnya, yang sempat tercoreng. Dan ketujuh, perlunya pengetatan perijinan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan di pesantren/madrasah dan satuan pendidikan agama lainnya.