Santri, Inspiring Story untuk Estafet Perjuangan Kebangsaan Indonesia

0

Indonesia, Negara dengan banyak keunggulan, kekayaan, keragaman. Negara kepulauan terbesar di dunia, Negara yang memiliki jumlah penduduk banyak dengan demografis muda. Negara dengan bentang alam yang luar biasa indahnya. Sumber daya alam yang melimpah ruah dimiliki Indonesia yang konon katanya tongkat ditancapkan bisa tumbuh menjadi pohon saking suburnya tanah air Indonesia.

Indonesia punya letak astronomis, geografis, geologis, bahkan geopolitik yang sangat strategis, dengan keragaman budaya yang sangat multikultural, dengan warisan karakter ramah dan toleran. Letak strategis ini menjadikan Indonesia sebagai jalur perlintasan dunia, Kawasan perdagangan yang ramai, serta mobilitas yang tinggi, iklim yang mendukung, tanah yang subur, sumber daya alam yang melimpah, Dan masih banyak lagi keunggulan lain yang dimiliki Indonesia.

Ya, Indonesia negara kita tercinta. Jika dahulu, para pendiri bangsa (the founding fathers) bangsa ini telah berhasil dalam pejuangan panjangnya, mengusir penjajah yang hampir 3,5 abad lamanya di bumi nusantara, perang di berbagai daerah di Indonesia yang masih bersifat tradisional, senjata seadanya, pasukan seadanya, namun semangatnya menyala nyala. Para pejuang kita tidak sudi berada di bawah kekuasaan bangsa asing yang mencoba menancapkan kekuasaannya di nusantara. Tidak sedikit Kerajaan-kerajaan di nusantara saat itu yang kemudian terpaksa menerima monopoli perdagangan yang begitu merugikan dan menyengsarakan. Tidak hanya itu, dengan politik devide et impera pemerintah kolonial Belanda berhasil mengambil alih kekuasaan raja raja dengan turut campur dalam urusan politik kerajaan, yang pada akhirnya hampir seluruh kerajaan di nusantara jatuh ke tangan pemerintah kolonial Belanda.

Kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan rakyat tak dapat dielakkan. Kondisi ini berlangsung beratus ratus tahun lamanya hingga pada akhirnya muncul konsepsi tentang trilogi Van de Venter yang meliputi transmigrasi, irigasi, dan edukasi. Dari ketiga konsepsi tersebut, edukasi merupakan tonggak awal munculnya golongan terpelajar bangsa Indonesia. Fase awal kebangkitan nasional dimulai dari berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908. Budi Utomo merupakan tonggak intelektual bangsa Indonesia untuk kemudian memulai pergerakan nasional, memperjuangkan kemerdekaan Indonesia bukan lagi dengan cara tradisional dan perang kedaerahan. Tepat 37 tahun sesudahnya, dengan berbagai macam pergolakan dan perjuangan yang luarbiasa hebatnya, akhirnya para pendiri bangsa ini berhasil menghantarkan Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 agustus 1945.

Prestasi yang luar biasa ini tentu disambut dengan gegap gempita oleh seluruh rakyat Indonesia. Kemerdekaan adalah pintu gerbang menuju cita cita kemerdekaan kita, yaitu masyarakat yang maju, berdaulat, adil dan Makmur. Bangsa Indonesia telah bertekad bahwa tidak akan ada lagi penjajahan di bumi nusantara. Dengan semboyan “merdeka atau mati” para pejuang kita mempersembahkan darah mereka untuk ibu pertiwi. Perang kembali bergolak, perjanjian demi perjanjian ditandatangani. Satu hal yang menjadi harga mati bahwa bangsa Indonesia tidak sudi dikuasai kembali. Keadaan ini berlangsung hingga pengakuan kedaulatan oleh Belanda dalam KMB (Konferensi Meja Bundar) 2 November 1949.

Masa demokrasi terpimpin, masa Orde Baru, masa reformasi, hingga pasca reformasi dengan segala dinamikanya telah menyematkan sederet kisah perjalanan bangsa ini. Lalu di manakah letak kita sekarang? santri saat ini, tentu saja kita berada diantara pintu gerbang kemerdekaan dan cita cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Itu artinya bahwa saat ini kitalah pemegang estafet perjuangan kebangsaan Indonesia, yakni masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kitalah yang bertanggung jawab atas pencapaian cita cita tersebut. Kita lah yang mendapatkan giliran berjuang menghantarkan Indonesia menuju cita cita nya. Ya, kita, santri.

Memegang estafet perjuangan bangsa ini tidaklah mudah. Banyak sekali pekerjaan rumah yang pastinya harus kita kerjakan untuk mencapai cita cita kemerdekaan sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945.

Indonesia adalah negara yang besar. Masalahnya pun besar. Kemiskinan, kesenjangan, lingkungan, sosial kemanusiaan, hingga pengangguran masih mewarnai dinamika negeri ini. Banyak tantangan yang harus diselesaikan untuk dapat menuju masyarakat Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Kemiskinan. Berdasarkan data BPS tahun 2020, Indonesia memiliki 10,19 % Penduduk miskin dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 270 juta jiwa. Masih terdapat kesenjangan yang signifikan terutama masyarakat Indonesia yang berada di luar pulau Jawa. Pulau Jawa, merupakan tulang punggung perekonomian dengan penyumbang 58% GDP untuk Indonesia. memiliki tingkat kemiskinannya 10 %. Sumatera, penyumbang 22% GDP, pertumbuhan ekonominya masih rendah yakni 3,9% tingkat kemiskinannya lebih tinggi dari pulau jawa yakni sebesar 11,1%. Kalimantan, penyumbang 7,7 % GDP Indonesia ini memiliki pertumbuhan ekonomi yang masih rendah. Kalimantan sangat terpukul oleh harga komoditas yang mengalami penurunan sangat drastis dalam lima tahun terakhir. Tingkat kemiskinannya 6,5%. Inilah potret perekonomian Indonesia berdasarkan regionnya dengan kenyataan bahwa memang masing masing pulau di Indonesia berbeda-beda tingkat kemajuannya. Kalau kita ingin menciptakan Indonesia yang merdeka, Bersatu, berdaulat, adil dan Makmur, maka tantangan ini harus dijawab.

Kesehatan. Masalah kesehatan akan sangat menentukan seberapa baik kualitas sumber daya manusianya. Tahun 2019 Indonesia memiliki 27% anak anak yang statusnya kurang gizi atau gizi buruk atau stunting. Angka ini berada diatas ambang batas WHO yaitu dibawah 20%. Gizi buruk adalah musuh yang paling berbahaya bagi Indonesia saat  ini. Bayangkan jika anak anak Indonesia yang akan melanjutkan estafet menuju cita cita Indonesia di masa selanjutnya mengalami kekurangan asupan nutrisi pada masa emas awal pertumbuhan otaknya. Tentu ini akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia Indonesia yang akan datang. Masalah kesehatan merupakan PR serius buat Indonesia.

Pendidikan. Berdasarkan data dari PISA (Programme for International Student Assessment) 2019, skor membaca Indonesia ada di peringkat 72 dari 77 negara, skor matematika di peringkat 72 dari 78 negara, sedangkan skor sains berada di peringkat 70 dari 78 negara. Assessment ini merupakan pengujian anak anak sekolah berusia 15 tahun di berbagai negara. Kemampuan membaca diartikan sebagai kapasitas murid untuk memahami,menggunakan, evaluasi, merenungkan, dan memaknai teks untuk mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan dan potensi, serta berpartisipasi dalam masyarakat. Kemampuan matematika diartikan sebagai kapasitas murid untuk merumuskan, menggunakan, dan menafsirkan matematika di berbagai konteks, termasuk penalaran matematika dan memaknai konseo, prosedur, fakta, dan perangkat matematika untuk menggambarkan, menjelaskan, dan memprediksi fenomena. Sedangkan kemampuan sains diartikan sebagai kemampuan untuk menghadapi isu isu terkait sains. Seseorang yang punya kemampuan literasi sains memiliki kemauan untuk terlibat dalam diskursus bernalar tentang sains dan teknologi, yang membutuhkan kompetensi untuk menjelaskan fenomena secara ilmiah, mengevaluasi dan merancang pemeriksaan secara ilmiah, dan menafsirkan data dan bukti secara ilmiah.

Tiga hal diatas, merupakan masalah serius yang menjadi tantangan kita untuk kemudian dapan menekan laju bertambahnya angka kemiskinan, rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan.

Sebagai santri, kita bisa mulai dari menciptakan inspiring story yang akan membawa dampak minimal di lingkungan terkecil, keluarga. Kita mulai dari hal hal kecil, misalnya membiasakan diri berpikir kritis untuk kemudian berpendapat mengenai isu isu tertentu yang menjadi perhatian publik, sekali lagi, melatih diri untuk berpikir kritis. Memberikan perhatian yang serius tentang kemampuan mendengar, berempati, menjaga sopan santun, sabar, menghargai perbedaan, mapu memberikan argument yang baik, dan mampu mengambil keputusan yang baik pula, tanpa merendahkan orang lain sebagaimana pepatah jawa “menang tanpo ngasorake”.

 Cara kita menyampaikan pendapat akan menggambarkan bagaimana kualitas pribadi kita. Pada saat kita sadar bahwa pada dasarnya kita sedang merepresentasi seorang santri, maka kita akan sangat menjaga pola tingkah laku kita sebagai manusia. Sehingga penting untuk memiliki kemampuan mengendalikan diri dan menggunakan seluruh otak, pikiran, perasaan, empati untuk menjadi manusia yang bisa berguna. Tidak mudah memang, karena tidak semua orang mampu menjadi manusia berguna. Hal hal yang sepele, kebiasaan kebiasaan positif  yang kita bangun akan menggambarkan kualitas kita sebenarnya. Sering kita lupa bahwa, sebenarnya kebaikan kebaikan kecil yang kita lakukan akan menggambarkan bobot yang luar biasa dalam hidup kita, dalam kita memilih filosofi, nilai nilai kebaikan, aksi aksi kebaikan, dan bahkan keputusan keputusan yang baik dan bermanfaat.

Seorang santri penting untuk kemudian menjadi kritis dan membiasakan diri  berpikir kritis. Tetapi kritis yang bukan  pesimis, apatis, apalagi menjadi sinis. Penting bagi santri untuk menjadi kritis tetapi tidak menjadi sinis. Untuk mencegah agar kita tidak menjadi orang yang sinis, maka hati kita, mental kita harus sehat. Kalau mental, otak, hati berpenyakit, maka sulit untuk menjadi orang yang kritis tapi positif. Yang ada justru kritis tapi destruktif (pesimis, sinis,apatis). Pembiasaan baik yang kita lakukan adalah bagaimana kita bisa lebih bahagia ketika melihat orang lain Bahagia. Bagaimana kita mampu memberikan yang lebih bermakna untuk kemanfaatan orang banyak.

Sebagai santri, kita perlu untuk membumikan dan melaksanakan nilai nilai yang kita percaya baik untuk kita lakukan dalam keseharian, bukan kemudian menjadi jargon belaka, tetapi menjadi ciri akhlak seorang santri dalam berinteraksi dengan orang lain. Dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja, maka selanjutny kebiasaan baik yang kita lakukan akan merefleksikan kepribadian seorang santri.

Jika santri mampu menciptakan “inspiring story” itu, maka santri akan sangat berkontribusi dalam menjalankan peran sebagai pemegang estafet perjuangan kebangsaan Indonesia menuju masyarakat yang merdeka, Bersatu, berdaulat, adil, dan Makmur. Sebagaimana yang dicita citakan oleh bangsa Indonesia.

Selamat berjuang!

Kontributor :

Nurlaily Fatayati (Wakil Sekretaris I PC Fatayat NU Gunungkidul)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *