Teori Penetapan Awal Bulan Syawal

Agus Suprianto, SH., SHI., MSI., CM

Dosen STAI Yogyakarta dan Mahasiswa S-3 FSH UIN Sunan Kalijaga

Hari Raya Idul Fitri 01 Syawal 1444 H, diberitakan www.detik.com akan terjadi perbedaan. Pengurus Pusat Muhammadiyah telah menetapkan Hari Raya Idul Fitri 2023 jatuh pada tanggal 21 April 2023 atau bertepatan dengan hari Jumat. Hal ini tertuang dalam Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah No.1/MLM/I.0/E/2023 tentang Penetapan Hasil Hisab, Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah 1444 H. Hasil hisab Muhammadiyah menyebut, pada 29 Ramadan, ijtimak jelang Syawal 1444 H terjadi pada pukul 11:15:06 WIB. Hilal sudah wujud ketika Matahari terbenam di Yogyakarta dan pada saat itu Bulan berada di atas ufuk di seluruh wilayah Indonesia.

Sementara jadwal Hari Raya Idul Fitri 2023 menurut Nadhlatul Ulama (NU) dan Pemerintah, baru akan diketahui setelah pemerintah menggelar sidang isbat rukyatul hilal. Sidang isbat akan berlangsung pada 29 Ramadan atau Kamis, 20 April 2023, dan informasinya akan mengundang berbagai pihak, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Komisi VIII DPR, serta sejumlah perwakilan organisasi masyarakat Islam.

Menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kalender Hijriyah yang disusun Kementerian Agama, Hari Raya Idul Fitri 2023 diperkirakan jatuh pada hari Sabtu 22 April 2023. Sehingga ini potensi terjadi perbedaan penetapan lebaran Idul Fitri 2023. Namun demikian, Kamaruddin Amin selaku Direktur Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama, meminta kepada masyarakat untuk menunggu hasil sidang isbat untuk lebih pastinya.

Hisab penentuan awal bulan merupakan salah satu contoh hisab falak. Di Indonesia hisab awal bulan hijriyah menjadi sangat signifikan dibandingkan dengan hisab falak yang lain. Hisab penentuan waktu shalat, arah kiblat dan gerhana hampir tidak pernah dipermasalahkan. Namun hisab untuk penentuan awal bulan khususnya yang berkaitan dengan penentuan awal Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah sering menimbulkan masalah. Hal ini karena berkaitan dengan ibadah dan kegiatan asasi umat Islam sebagai hamba Allah dalam menjalankan ibadah seperti puasa, hari raya, haji, dan zakat fitrah.

Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/ astronomis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya mengklaim memiliki dasar yang kuat.

Merujuk buku “Materi Dasar Pendidikan Falakiyah”, karya Mutoha Arkanuddin, dkk, terbitan Jakarta Islamic Centre, 2019, ada 4 kriteria yang menjadi dasar penetapan awal bulan Hijriyah di Indonesia, yaitu : Pertama, Kriteria Rukyatul Hilal. Hadits Rasulullah SAW menyatakan “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)”.

Rukyat berasal dari bahasa Arab “ra’a – yara” yang artinya “melihat”. Hilal juga berasal dari bahasa Arab “al-hilal – ahillah” yaitu bulan sabit yang pertama terlihat setelah terjadinya peristiwa konjungsi. Konjungsi atau Ijtimak adalah bulan baru (new moon) disebut juga bulan mati. Ijtimak terjadi saat posisi bulan dan matahari berada pada jarak paling dekat. Berdasarkan syariat tersebut NU sebagai ormas Islam berhaluan ahlussunnah wal jamaah berketetapan mencontoh sunah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) dalam hal penentuan awal bulan Hijriyah wajib menggunakan rukyatul hilal bil fi’li, yaitu dengan merukyat hilal secara langsung. Bila tertutup awan atau menurut Hisab hilal masih di bawah ufuk, mereka tetap merukyat untuk kemudian mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30 hari.

Kedua, kriteria Hisab Wujudul Hilal. Menurut Kriteria Wujudul Hilal yang sering disebut juga dengan konsep “ijtimak qoblal ghurub” yaitu terjadinya konjungsi (ijtimak) sebelum tenggelamnya matahari, menggunakan prinsip sederhana dalam penentuan awal bulan Hijriyah yang menyatakan bahwa : Jika pada hari terjadinya konjungsi (ijtimak) telah memenuhi 2 (dua) kondisi, yaitu: (1) Konjungsi (ijtimak) telah terjadi sebelum Matahari tenggelam, (2) Bulan tenggelam setelah Matahari, maka keesokan harinya dinyatakan sebagai awal bulan Hijriyah. Berdasarkan konsep inilah Muhammadiyah dapat menyusun kalender Hijriyah termasuk penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha.

Ketiga, Kriteria Hisab Imkanur Rukyat MABIMS. Penanggalan Hijriyah Standard Empat Negara Asean, yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) merumuskan kriteria yang disebut “imkanur rukyah” dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah yang menyatakan : “Hilal dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut : (1). Ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang daripada 2° dan jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang daripada 3°. Atau (2). Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang daripada 8 jam selepas ijtimak/konjungsi berlaku.

Keempat, kriteria Rukyatul Hilal Global. Kriteria ini dipakai oleh sebagian muslim di Indonesia lewat organisasi-organisasi tertentu yang mengambil jalan pintas merujuk kepada negara Arab Saudi atau menggunakan pedoman terlihatnya hilal di negara lain dalam penentuan awal bulan Hijriyah termasuk penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Penganut kriteria ini berdasarkan pada hadist yang menyatakan, jika satu penduduk negeri melihat bulan, hendaklah mereka semua berpuasa meski yang lain mungkin belum melihatnya.

Berdasarkan perbedaan kriteria metode penentuan awal Bulan Kalender Hijriyah, terkadang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri. Di Indonesia, menjembatani beberapa kriteria tersebut, khususnya metode hisab dan rukyat, pemerintah melalui Kementerian Agama sebagai pemegang otoritas melakukan sidang isbat untuk mengkompromikan antara data hisab (mazhab hisab) dengan hasil observasi (mazhab rukyat). Kadang-kadang hasil sidang isbat, menetapkan waktu baik hisab maupun rukyat terjadi bersamaan waktu tanggalnya dan tidak terjadi perbedaan. Namun beberapa kali juga terjadi perbedaan, termasuk tahun ini yaitu Idul Fitri 01 Syawal 1444 H, jatuh hari Jumat, 21 April 2023 bagi Muhammadiyah dan diperkirakan hari Sabtu, 22 April 2023 bagi Nahdlatul Ulama (NU) dan Kementerian Agama RI.

Di Indonesia, tinggi bulan saat maghrib di kisaran 0 – 2 derajat. Kelompok pertama menyatakan wujudul hilal menyebabkan masuknya awal bulan, sementara kelompok kedua kriteria 2 derajat baru menunjukkan masuknya awal bulan, bahkan yang berpedoman ketinggian hilal minimal 3 derajat.

Menyikapi bila terjadi perbedaan, pemerintah Indonesia mengkampanyekan agar perbedaan tidak dijadikan persoalan, tergantung pada keyakinan dan kemantapan masing-masing, serta mengedepankan toleransi terhadap suatu perbedaan. Perbedaan adalah bagian dari kebebasan ijtihadiyah yang dijamin dalam Islam. Masing-masing kelompok punya pendapat yang dianggapnya paling kuat. Dalam kaidah ijtihad, tidak ada pihak yang boleh mengklaim paling benar dan menyalahkan pihak lainnya. Islam mengajarkan, kesalahan dalam ijtihad masih mendapatkan pahala karena kesungguhannya dalam mencari solusi hukum. Persoalannya hanya pada masyarakat pengikutnya yang kadang-kadang menjadi bingung. Maka dalam masalah perbedaan hari raya, perlu difahami dulu sumber perbedaannya dan ikuti mana yang paling menentramkan hati.

Bila tidak bisa memutuskan sendiri, jalan terbaik adalah mengikuti keputusan pemerintah yang merupakan hasil optimal dari berbagai pendapat yang berkembang di masyarakat. Apalagi ada perintah di dalam al-Quran untuk mengikuti pemerintah (ulil amri) setelah mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Serta dalam Islam perbedaan “warna-warni” itu wajar, sunnatullah dan perbedaan pada umatku adalah rahmat (ikhtilafu ummati rahmah).