Arti Penting Literasi dan Check Up Kesehatan Mental Perempuan

Nurul Lathiffah, S. Psi., M. Psi

Bidang Hukum, Politik, dan Advokasi PAC Fatayat Playen dengan Konselor LKP3A PC Fatayat Gunungkidul


SETIAP transisi kehidupan semisal anak ke remaja, remaja ke dewasa, dewasa ke menjadi orang tua, dan lain seterusnya akan selalu menyediakan tugas perkembangan. Kegagalan (baca: tugas perkembangan yang tak selesai) biasanya rentan membuat individu memiliki beban psikis.

Masa kecil yang bahagia dan nir kekerasan adalah syarat untuk siap menjalani masa remaja yang menantang. Masa remaja yang menantang dan penuh prestasi adalah syarat utama untuk siap menjalani masa dewasa. Kegagalan pencapaian penyelesaian tugas perkembangan akan menghambat dan memberatkan individu menjalani tahapan usia berikutnya.

Secara kolektif kita paham bahwa check-up kesehatan fisik sangat perlu. Namun yang kadang lupa disadari adalah bahwa check up kesehatan mental juga tak kalah penting.  Sayangnya, tak semua individu menyadari hal ini.

Kebanyakan ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa) dan penyandang masalah gangguan emosi merupakan individu yang abai terhadap perasaannya sendiri. Emosi negatif masa anak, remaja, hingga dewasa dibiarkan terus tertampung dalam dirinya, sehingga suatu ketika meluapkan emosi negatif yang tak bisa dibendung.

Secara sosial dan psikis, perempuan memiliki kompleks life event yang rentan memicu stres. Pada masa kecil misalnya, anak perempuan memiliki konflik ketidakpercayaan yang harus diatasi dengan kasih sayang dalam keluarga.

Pada masa anak-anak, perempuan mengalami konflik rasa malu yang diatasi dengan pendidikan kemandirian. Selanjutnya, pada masa remaja hingga dewasa perempuan mengalami konflik rasa bersalah dan rendah diri yang harus diatasi dengan ketekunan dan apresiasi.

Apabila nutrisi psikis tidak didapatkan dari figur otoritas (orang tua, suami, keluarga), maka perempuan akan mengembangkan perasaan inferior dalam diri. Inferioritas dapat memicu stres, depresi, dan perasaan putus asa.

Oleh karena itu, check up kesehatan mental menjadi sama pentingnya dengan check up kesehatan fisik. Apabila dirasa memiliki problem yang mengganggu dan sulit terselesaikan, perempuan harus independen mencari bantuan, mulai dari keluarga dekat hingga pakar kesehatan mental, semisal konselor, psikolog, dan psikiater atas rujukan.

Jangan sampai kondisi mental yang tidak sehat dibiarkan begitu saja sehingga membentuk kompleks gangguan jiwa. Yang lebih penting dari upaya dzahir tersebut adalah bagaimana perempuan mampu terhubung dengan keagungan Tuhan melalui pelaksanaan ibadah-ibadah. Ditengarai, ibadah dapat menjadi terapi gangguan kesehatan mental. Perempuan perlu meningkatkan literasi kesehatan mental, baik melalui media baru (baca: internet) atau buku-buku keagamaan yang dapat diakses secara daring atau luring.

Check up kesehatan mental menjadi sama pentingnya dengan check up kesehatan fisik. Apabila dirasa memiliki problem yang mengganggu dan sulit terselesaikan, perempuan harus independen mencari bantuan

Nurul Lathiffah SPsi MPsi

Tak ada perempuan yang tumbuh kuat tanpa ujian. Dan tak ada perempuan sempurna tanpa cacat dalam menghadapi kesedihan. Bahkan Maryam binti Imron yang notabene merupakan perempuan ahli ibadah nan shalihah pernah merasakan putus asa hingga ingin menghilang dan dilupakan sejarah.

Kesedihan dan tekanan batin yang demikian kuat dirasakan Maryam ketika hendak melahirkan seorang anak yang tanpa ayah. Keluhan dan ratapan perempuan shalihah tersebut diabadikan oleh Al Quran, “ Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia bersandar pada pangkal pohon kurma. Dia berkata, “Aduhai alangkah baiknya aku mati sebelum ini. Dan aku menjadi barang yang tidak berarti lagi dilupakan.” (QS. Maryam: 23).  

Meski demikian, perempuan shalihah nan mulia tersebut tetap memohon pertolongan dan menghubungkan diri dengan Tuhan melalui doa-doa. Setelah melalui masa-masa sulit, akhirnya lahirlah bayi yang di kemudian hari menjadi nabi.

Bunda Maryam sesungguhnya mengajarkan pada seluruh perempuan di dunia untuk tidak menyerah pada perasaan negatif. Harapan kepada Tuhan merupakan terapi paling mungkin yang bisa dilakukan oleh diri sendiri dengan biaya zero rupiah. Bilakah dirasa masih kurang, perempuan dapat menghubungkan diri dengan fasilitas kesehatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mental.

Saat ini, beberapa puskesmas sudah menyediakan psikolog untuk memberikan intervensi dan membantu klien untuk membantu klien mencapai aktualisasi diri. Banyak pula lembaga-lembaga non pemerintah yang menyediakan layanan konseling dengan cuma-cuma.

Literasi kesehatan mental pada perempuan perlu ditingkatkan melalui berbagai cara. Harapannya, perempuan yang terliterasi akan kesehatan mental dapat melakukan evaluasi diri dan dapat meminta pertolongan kepada pihak yang tepat ketika dirinya mengalami krisis kehidupan.

Pengetahuan yang baik mengenai kesehatan mental akan mendorong perempuan untuk menyadari kondisi dalam diri sehingga piawai mengatasi masalah. Jika perempuan memiliki kesehatan mental berkualitas, maka perempuan akan lebih tangkas dalam mengasuh anak, mengelola problem, sehingga perempuan dapat meluaskan perannya menjadi lebih bermanfaat kepada diri, keluarga, dan sesama.

Mari, tingkatkan literasi kesehatan mental agar perempuan lebih berdaya dan memberdayakan!