Catatan Untuk UU Pesantren
Muh. Kamsun
Penghulu Ahli Madya pada KUA Karangmojo dan Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) NU Kabupaten Gunungkidul
Undang-Undang Pesantren telah disahkan DPR tahun 2019 lalu. Arti terpenting dari UU Pesantren ini adalah rekognisi atau pengakuan negara terhadap lulusan pesantren, baik yang formal maupun nonformal. Konsekuensinya, regulasi berupa pendanaan.
Dalam UU, pesantren yang formal meliputi pendidikan muadalah dan pendidikan diniyah formal serta Ma’had ‘Ali. Sedangkan, pendidikan nonformal berupa pengajian kitab kuning dengan metode pembelajaran yang khas. Dengan UU ini, kini semua lulusan pesantren diakui sama dengan lulusan pendidikan formal pada jenjang tertentu setelah dinyatakan lulus ujian. Lulusannya pun dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi. Selain itu, mereka juga memiliki kesempatan kerja yang sama.
Sebagai produk hukum, UU Pesantren menyisakan beberapa pekerjaan rumah bagi pihak terkait, pemerintah, dan pengelola pesantren sendiri. Tanpa mengenyampingkan persoalan lain, berikut adalah beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian dalam rangka implementasi UU Pesantren.
Pertama, mengenai pendanaan pesantren. Bagi pengelola, yakni para kiai, seringkali tidak nyaman membicarakan dana bantuan dari pemerintah. Pesantren sejak dulu sudah terbiasa mandiri. Tidak jarang, kita mendengar kiai pondok yang menolak bantuan pemerintah atau perorangan.
Jika kini negara akan memberikan dana, akankah masih dijumpai perasaan risih bahkan penolakan dari kiai pesantren? Perlu ditegaskan bahwa ketika berbicara soal regulasi dan penganggaran, maka sangat tidak adil jika anggaran yang begitu besar dalam APBN untuk pendidikan nasional tidak bisa diserap oleh pesantren yang juga mengelola pendidikan. Soal pesantren menolak dana dari pemerintah karena sudah terbiasa mandiri, tentu itu urusan lain.
Dalam UU Pesantren, skema pendanaan pesantren memang hanya dibebankan kepada Kementerian Agama. Namun demikian, tetap masih ada peluang sumber pendanaan lain baik melalui APBN maupun APBD di luar Kementerian Agama.
Kedua, Peraturan Pemerintah berikut peraturan turunan tentang pelaksanaan UU Pesantren harus segera diterbitkan. Menyusul PP, UU Pesantren memerintahkan kepada Menteri Agama untuk menerbitkan beberapa peraturan.
Menilik kepada UU tersebut, setidaknya ada tujuh peraturan yang harus diterbitkan meliputi: Peraturan Menteri Agama tentang pendirian pesantren (pasal 6), tentang penyelenggaraan pendidikan pesantren (pasal 24), tentang majelis masyayikh (pasal 28) tentu dengan ketentuan dewan masyayikh, tentang penjaminan mutu pesantren (pasal 30), tentang kurikulum pendidikan umum di pesantren muadalah (pasal 18), tentang sistem informasi pesantren (pasal 47), serta tentang pendidik dan tenaga kependidikan (pasal 34 dan 35).
Peraturan pelaksanaan dari undang-undang ini harus ditetapkan paling lama 1 tahun terhitung sejak diundangkan. Lagipula, harus tersosialisasikan dengan baik kepada para santri dan masyarakat pesantren.
Ketiga, terkait dengan kekhasan pesantren. Tentang masyayikh (semacam komisioner) tingkat nasional dan dewan masyayikh di tingkat pesantren janganlah berorientasi penyeragaman. Kekhasan pesantren erat berkaitan dengan kultur lokal masyarakat dan spesialisasi kajian pesantren. Kekhasan lain juga menyangkut keterbatasan yang dimiliki oleh pesantren.
Kalau negara tidak bisa memberikan afirmasi memadai kepada pesantren, maka semangat yang perlu ditekankan dari aturan turunan UU Pesantren adalah rekognisi atau pengakuan dan penghargaan pesantren di daerah yang selama ini telah melakukan tugas negara yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”, bukan mengatur berbagai keharusan pihak pesantren. Dibutuhkan kecermatan dan kebijaksanaan yang tepat dalam mengatur masalah ini.
Keempat, terkait fungsi pesantren. Selain pendidikan, yaitu dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Pasal dan ayat dakwah lebih merupakan penegasan mengenai model dakwah yang selama ini dijalankan pesantren. Pesantren adalah pusat dakwah Islam yang moderat, menghargai tradisi masyarakat dan menggelorakan semangat cinta tanah air Indonesia.
Ditegaskan bahwa dakwah harus dilaksanakan oleh orang-orang yang mumpuni secara keilmuan, bukan sembarang orang yang baru hafal satu dua ayat. Di sisi lain, pasal dakwah pesantren mengingatkan kaum santri untuk lebih inovatif dalam berdakwah, agar pesan moderasi beragama sampai kepada masyarakat “zaman now”, alias generasi milenial.
Terkait fungsi pesantren dalam pemberdayaan masyarakat, para pengasuh pesantren adalah tokoh dan penggerak masyarakat, agen perubahan dalam pengertian yang sebenarnya. Dalam pemberdayaan masyarakat, pesantren perlu terintegrasi dengan pemerintah daerah, lebih-lebih dengan adanya dana daerah berupa dana desa.
Terakhir, mengenai otonomi. Pesantren bukanlah harus menyendiri terpisah alias soliter. Pesantren tidak boleh tertutup dan harus bisa diakses oleh masyarakat. Masjid dan musholla pesantren adalah sekaligus tempat beribadah bagi masyarakat sekitar.
Langkah ini juga sebagai cara antisipasi jangan sampai ada agenda-agenda terselubung yang membahayakan negara oleh kelompok masyarakat tertentu di balik camp-camp khusus yang ikut-ikutan diberi nama pesantren. Di sinilah urgensi betapa UU Pesantren menjamin bahwa pesantren bukanlah arena penyemaian benih-benih yang hendak melawan negara. Di atas itu semua, dengan UU Pesantren kita yakin dan optimis, bahwa pesantren akan bertumbuh dan berkembang sesuai dengan habitus khasnya. Sehingga terus berkontribusi untuk eksistensi, kemajuan dan kebanggaan bangsa.