Hukum Shalawat dengan Nada Dangdut dan Berjoget
DESKRIPSI
Sekarang ini, banyak majelis pengajian dan majelis dakwah yang diiringi dengan pembacaan sholawat. Hanya saja, di antara pembacaan sholawat tersebut dilantunkan dengan irama lagu dangdut, rock, pop, dll, dan juga terdapat tarian/joget. Berbagai kalangan menggemari dan menghadiri majelis tersebut.
Semangat dakwah mereka patut diapresiasi. Hanya saja dalam waktu yang bersamaan, muncul penilaian negatif dari sebagian masyarakat mengenai cara mereka dalam melantunkan sholawat. Terlebih ketika dalam lantunan tersebut, bercampur antara laki-laki dan perempuan yang sama-sama berjoget.
PERTANYAAN
- Bagaimana hukum membaca sholawat dengan nada lagu dangdut, rock, pop, india, dll?
- Bagaimana hukum membaca sholawat yang disertai tarian/joget?
- Bagaimana jika bacaan sholawat dengan nada dangdut dan disertai tarian/joget itu dilakukan dalam rangka dakwah?
JAWABAN
1. Pada dasarnya melantunkan shalawat dengan nada apapun diperbolehkan dengan batasan tidak dengan nada yang memberi kesan merendahkan atau tidak layak bagi kehormatan dan kemuliaan Nabi Muhammad Saw. Pembacaan shalawat seyogyanya dilakukan dengan fasih, khusyu’, rendah hati, dan merenungkan isi kandunganya.
بدع المساجد ص : 33
(مسألة ) سئل السيد أحمد زيني دحلان مفتي الشافعية بمكة المتوفى بالمدينة سنة 1304 عن جماعة يقرءون مولد النبي (يطربون فيه بالغناء والألحان والتكسير خصوصا في الأشعار والقصائد المتعلقة بجنابه) ويرفعون أصواتهم رفعا شديدا ويمدون المقصور وقصرون الممدود ويقفون في أثناء الكلمات ويقطعون بعضا عن بعض كما فعلوا بمثل قوله أشرق البدر علينا الأبيات يقولون أشرقا البادرو علاينا مارحبان الخ فهل ذلك حرام أو مكروه أو مباح؟ فأجاب بقوله التغني بالألحان والتكسير ورفع الصوت في قراءة المولد حرام بل الواجب على من حضر قراءة المولد سواء القارئ والسامع أن يكون فصيحا غير لاحن خافضا غير رافع الصوت خاشعا متواضعا متأدبا لحضرته وعظمته وأن يتأمل ويتفهم ما يسمعه من أخلاقه الكريمة كما قال: وإنك لعلى خلق عظيم.
“Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Mufti Mazhab Syafi’i di Makkah yang meninggal di Madinah pada tahun 1304, ditanya mengenai sekelompok orang yang membaca Maulid Nabi (mereka melantunkan syair-syair dan kasidah-kasidah yang berkaitan dengan kemuliaan Nabi dengan lagu-lagu dan memotong kalimat), mereka meninggikan suara dengan keras, memanjangkan yang pendek dan memendekkan yang panjang, waqaf di tenggah-tenggah kalimat dan memotongnya seperti dalam kalimat “Ashraqal Badru ‘alainā” mereka mengucapkannya “Ashraqaal Badruu ‘alaainā, Māarhabān” dan sebagainya. Apakah itu haram, makruh, atau dibolehkan? Beliau menjawab bahwa bernyanyi dengan lagu-lagu, memotong kalimat dan meninggikan suara dengan keras saat membaca Maulid adalah haram. Wajib bagi siapa saja yang menghadiri pembacaan Maulid, baik sebagai pembaca maupun pendengar, fasih, tidak meninggikan suara, khusyu’, rendah hati, dan beradab kepada Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan kemulyaanya. Selain itu, mereka harus merenungkan dan memahami akhlak yang terkandung dalam apa yang mereka dengar, sebagaimana dikatakan dalam firman-Nya: “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. Al-Qalam: 4)
أما الموسيقى والأغاني المحرمة: فهي التي تلهي عن ذكر الله تعالى وتتضمن أشياء منكرة ومحظورة، مثل أن تكون باعثة على تحريك الغرائز والشهوات، ويختلط فيها الرجال بالنساء، أو يكون صوت المغني فيه تخنّث وتكسر وإثارة للفتن، وتسعى إلى تدمير الحياء والأخلاق
“Adapun musik dan lagu yang diharamkan adalah yang mengalihkan dari mengingat Allah Ta’ala dan mengandung hal-hal yang terlarang, seperti yang membangkitkan hawa nafsu, bercampur antara pria dan wanita atau suara penyanyi yang mencerminkan perilaku feminin dan mengundang fitnah, serta bertujuan untuk menghancurkan kesopanan dan moralitas”. (https://www.daralifta.org/ar/fatawa/16964/)
الموسوعة الفقهية الكويتية (2493)
وقد يكون بالأفعال، وذلك بكل عمل يتضمن الاستهانة، أو الانتقاص
“Merendahkan Allah atau Rasulnya dapat melalui tindakan, yaitu dengan setiap tindakan yang mencerminkan penghinaan atau meremehkan”
2. Jika yang dimaksud dengan joget adalah gerakan meliuk-liuk, gemulai, gerakan naik dan turun maka pembacaan shalawat dengan diiringi joget seperti ini tidak diperbolehkan, terlebih jika di dalamnya bercampur laki-laki dan perempuan, begitupun ketika perempuan tampil berjoget dengan cara seperti itu di depan para laki-laki. Adapun tarian sufi yang biasa dialami para arbab al-ahwal maka hukumnya boleh.
الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي (2665/4)
وأما الرقص الذي يشتمل على التثني والتكسر والتمايل والخفض والرفع بحركات موزونة فهو حرام ومستحله فاسق
“Adapun tarian yang melibatkan gerakan meliuk, gemulai, bergoyang, menurun, naik dengan gerakan yang teratur, maka itu diharamkan dan orang yang menghalalkanya dianggap fasik.”
الموسوعة الفقهية الكويتية (1023)
فذهب الحنفية والمالكية والحنابلة والقفال من الشافعية إلى كراهة الرقص معللين ذلك بأن فعله دناءة وسفه، وأنه من مسقطات المروءة، وأنه من اللهو . قال الأبي: وحمل العلماء حديث رقص الحبشة على الوثب بسلاحهم، ولعبهم بحرابهم، ليوافق ما جاء في رواية: يلعبون عند رسول الله بحرابهم وهذا كله ما لم يصحب الرقص أمر محرم كشرب الخمر، أو كشف العورة ونحوهما، فيحرم اتفاقا
“Menurut Madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Al-Qaffal dari Syafi’iyah tarian itu makruh, dengan alasan bahwa tindakan tersebut rendah dan bodoh, merusak martabat dan sia-sia. Al-Abi berkata: Para Ulama mengartikan hadits tarian orang Habasyah dengan melompat dengan senjata mereka dan bermain dengan tombak mereka agar sesuai dengan Riwayat: Bahwa mereka bermain di dekat Rasulullah dengan tombak mereka. Tarian mereka tidak disertai dengan hal yang diharamkan seperti mengkonsumsi minuman keras, membuka aurat dan sejenisnya, hukumnya haram secara mutlak”
فتاوي الخليلي على المذهب الشافعي (2/ 260)
وقال الطرسوسي: دورانهم رقص أحدثه السامري أولا فهو لهو حرام بالاتفاق وتشبه بالكفرة الضالين فإن أراد بالدوران ما تفعله فقراء الدراويش في طريق الميلوية فهو رقص الصوفية وتواجدهم وقد ذكرنا أنه جائز وله أصل في السنة في رقص جعفر بن أبي طالب رضي الله عنه لما قال له صلى الله عليه وسلم: أشبهت خلقي وخلقي
“Al-Tharsusi mengatakan: Putaran mereka adalah tarian. pertama kali diperkenalkan oleh Musa Assamiri dan itu adalah hiburan yang diharamkan berdasarkan kesepakatan Ulama’ dan itu menyerupai dengan orang-orang kafir yang sesat. Jika maksudnya putaran adalah apa yang dilakukan oleh para faqir AlDarawish di Tarekat Maulawiyah, maka itu adalah tarian sufi dan ekspresi rasa cinta mereka, telah kita sebutkan, bahwa itu diperbolehkan dan memiliki dasar dari Sunnah. Ja’far bin Abu Talib menari, ketika Rasulullah, shalallahu ‘alaihi wa sallam, berkata kepadanya: ‘Kamu menyerupai aku dalam penampilan dan karakter”
سنن الترمذي (621/5)
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا فَسَمِعْنَا لَغَطًا وَصَوْتَ صِبْيَانٍ، فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا حَبَشِيَّةٌ تَزْفِنُ وَالصَّبْيَانُ حَوْلَهَا ، فَقَالَ: «يَا عَائِشَةُ تَعَالَيْ فَانْظُرِي»
“Dari Aisyah dia berkata: “(Suatu ketika) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk-duduk, maka kami mendengar suara hiruk pikuk dan suara anak-anak kecil, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, ternyata seorang budak wanita habasyah sedang menari dan bermain, sedangkan di sekitarnya ada beberapa anak-anak kecil, maka beliau bersabda: “Kemarilah wahai Aisyah dan lihatlah.”
إحياء علوم الدين (2/ 304)
الأدب الرابع أن لا يقوم ولا يرفع صوته بالبكاء وهو يقدر على ضبط نفسه ولكن إن رقص أو تباكى فهو مباح إذا لم يقصد به المراءاة لأن التباكي استجلاب للحزن والرقص سبب في تحريك السرور والنشاط
“Adab keempat adalah tidak berdiri dan meninggikan suara dengan menangis, sedangkan dia mampu mengendalikan dirinya. Namun, jika dia menari atau memaksa menangis, maka itu diperbolehkan asalkan tidak bermaksud riya, karena memaksa menangis dapat memunculkan rasa kesedihan dan menari adalah penyebab tumbuhnya kegembiraan dan semangat.”
الموسوعة الفقهية الكويتية (10/ 62)
تبرج المرأة على أشكاله المختلفة، سواء ما كان منه بإظهار الزينة والمحاسن لغير من لا يحل له نظر ذلك، أو ما كان بالتبختر والاختيال، والتثني في المشي، ولبس الرقيق من الثياب الذي يصف بشرتها، ويبين مقاطع جسمها، إلى غير ذلك – مما يبدو منها مثيرا للغرائز ومحركا للشهوة – حرام إجماعا لغير الزوج؛ لقول الله تبارك وتعالى: {وقرن في بيوتكن ولا تبرجن تبرج الجاهلية الأولى}
“Tampilnya perempuan dengan cara yang berbeda-beda dengan memperlihatkan perhiasan dan asesoris terhadap orang yang tidak boleh untuk memandangnya atau dengan berlenggak-lenggok ketika berjalan, mengenakan pakaian tipis yang membentuk tubuhnya dan selainnya yang dapat membangkitkan ketertarikan lawan jenis adalah haram hukumnya, kecuali hanya di depan suaminya….”
3. Jika nada yang dipakai memberi kesan merendahkan dan joget dilakukan dengan meliuk-liuk, gemulai, gerakan naik dan menurun maka tidak dibolehkan, meskipun dalam rangka dakwah.
إحياء علوم الدين (368/4)
الأول المعاصي وهي لا تتغير عن موضعها بالنية فلا ينبغي أن يفهم الجاهل ذلك من عموم قوله عليه السلام إنما الأعمال بالنيات فيظن أن المعصية تنقلب طاعة بالنية كالذي يغتاب إنسانا مراعاة لقلب غيره أو يطعم فقيرا من مال غيره أو مدرسة أو مسجدا أو رباطا بمال حرام وقصده الخير فهذا كله جهل والنية لا تؤثر في إخراجه عن كونه ظلما وعدوانا ومعصية بل قصده الخير بالشر على خلاف مقتضى الشرع شر آخر
“Pertama, perbuatan maksiat, ia tidak bisa berubah dari tempatnya dengan niat. Maka tidak seharusnya orang bodoh memahami hal itu dari keumuman sabda Nabi, “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya.” Kemudian Mereka beranggapan bahwa maksiat dapat berubah menjadi ketaatan melalui niat, seperti seseorang menggunjing orang dengan alasan menjaga hati orang lain atau memberi makan orang miskin dengan uang orang lain atau membangun sekolah, masjid, atau pondok dengan uang haram dengan niat yang baik. Semua ini adalah kebodohan, karena niat baik tidak megeluarkan semua itu dari kezaliman dan maksiat. Justru niat baik tersebut namun dengan cara yang buruk yang bertentangan dengan tuntunan syariat, menjadi keburukan tersendiri.”
*Keputusan LBM-PWNU DIY tanggal 4 Juli 2023 di Pondok Pesantren Darul Qur’an Wal Irsyad Wonosari, Gunungkidul